Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Kamis, 29 Oktober 2009

SKANDAL PT MSM DAN TTN DITOLAK

Disetujuinya AMDAL PT MSM/TTN oleh tim amdal pusat jelas merupakan ujung dari spiralisasi skandal hukum lingkungan yaitu bermuaranya berbagai skandal hukum yang dilakukan sebelumnya (1986-2007) yaitu lahirnya eksistensi super-versi di atas hukum Indonesia. Yaitu Kontrak Karya diperlakukan lebih tinggi derajatnya dari konstitusi negara.
Dalam hal ini, tatanan hukum Indonesia, termasuk sumber hukum (konstitusi) diperlakukan sebagai sub-versi yang harus mengintegrasikan diri terhadap ketentuan-ketentuan kontrak karya, sang super-versi. Jeleknya, pasal-pasal dalam kontrak karya jelas menyatakan bahwa perusahaan pemegang kontrak karya wajib tunduk terhadap hukum Indonesia.
Hal ini diduga disebabkan oleh dominannya budaya suap dan/atau korupsi di tingkat pemerintahan. Oleh karenanya, sangat mengarah pada logika hukum tentang adanya tindak pidana okupasi (occupational crime) dalam bentuk jejaring yang di-”drive” oleh pihak yang paling diuntungkan. Dalam hal ini, tampak berlangsung skema kejahatan kerah putih (white colar crime) oleh pejabat-pejabat negara. Dalam situasi yang berbeda (negara-negara dunia ketiga), biasanya politik kekuasaan dan politik hukum memainkan kejahatan ini untuk kepentingan penaklukkan oposisi.
Sementara di daerah-daerah demokrasi, kejahatan ini dilakukan untuk kepentingan mafia. Keduanya sama yaitu anti-hukum (abuse of power) yang lazim disebut sebagai state organized crime. Dalam dimensi ini tak hanya hukum yang diabaikan tetapi juga konstitusi negara dan hak asasi manusia (HAM).
Aktor-aktor yang diduga terlibat teridentifikasi dimulai dari oknum-oknum kepala desa serta tokoh-tokoh masyarakat yang diiming-iming proyek comdev di wilayah lingkar tambang dan berbagai perpanjangan tangan perusahaan (MSM/TTN) di wilayah grass root; Aktor-aktor ini tampak dikuatkan oleh berbagai LSM tambang. Jejaring ini terdeteksi berlangsung secara vertikal ke tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga ke pusat.
Yaitu oknum-oknum penting dalam pemerintahan hingga ke Departemen ESDM, oknum-oknum di Kementerian Lingkungan Hidup, oknum-oknum dalam Menko Perekonomian, oknum-oknum dalam Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, oknum-oknum dalam Menko Politik Hukum dan Keamanan, dan oknum-oknum dalam Sekretariat Negara. Di sisi paralel, terdeteksi adanya pengaruh dari oknum-oknum dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara dan Dewan Perwakilan Rakyat RI (Jakarta).
Menjadi pertanyaan, ”Siapakah tokoh di Indonesia yang mampu mengkoordinir sedemikian luas dan mengakar serta mampu memanfaatkan sistematika dan perangkat negara untuk tujuannya?” Tampak hal ini mengarah pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, instansi pemberi izin sekaligus yang paling ngotot agar PT MSM/TTN segera beroperasi, walaupun tidak memilik amdal.
Pada tahap rencana operasi PT MSM/TTN ditolak oleh Gubernur Sulut, tampak berbagai upaya nekad dari ”sponsor-sponsor” utama PT MSM dan PT TTN. Hal ini nyata pada hal-hal sebagai berikut:
1. beberapa surat (mal-administrasi) yang diterbitkan oleh Menteri ESDM,
2. ”krasak-krusuk” DPRD Sulut ”harus” melakukan studi banding terhadap status hukum yang sudah jelas, dan
3. kencangnya isu bahwa Gubernur Sulut anti-investasi dari berbagai penjuru.

Sementara di tingkat akar rumput (masyarakat) lingkar tambang tampak digejolakkan dengan rekayasa ”kemarahan” masyarakat yang terancam tidak bisa lagi bekerja sebagai buruh di PT MSM/TTN. Seluruh mekanisme di atas, mengarah pada logika bahwa skenario ini memang jauh sebelumnya dirancang berdasarkan asumsi bahwa hukum dan regulasi di Indonesia mudah ”di atur” sesuai kepentingan dan ”selera” PT MSM/TTN (investor). Komposisi jejaring ini terputus mata rantainya ketika Gubernur Sulawesi Utara menyatakan menolak AMDAL PT MSM/TTN.
Dalam praktik ini, resistensi dari berbagai aktor (pelaku) jejaring state organized crime, adalah melalui lobby (bargaining), kampanye sistematis dengan memanfaatkan media massa, tekanan dan intimidasi terselubung yang luar biasa dan sistematis terhadap Gubernur Sulut dari segala dimensi, justru ketika gejolak sentimen publik terhadap langkah-langkah kriminalisasi masyarakat yang dilakukan oleh PT MSM mencapai momen puncaknya. Dalam hal ini, sikap menolak PT MSM oleh Gubernur Sulut sudah identik dengan sikap publik Sulawesi Utara.
Ancaman ekonomi (sekonyong-konyong) dengan adanya aktivitas pembuangan limbah di Minahasa Utara dan Bitung adalah:
1. PAD Sulut dari sektor perikanan adalah Rp 500-900 miliar per tahun. Berapakah jumlah kontribusi MSM/TTN yang dapat mengkonversi PAD ini secara jangka panjang?
2. Terdapat 45 perusahaan pariwisata yang akan gulung tikar. Berapakah nilai investasi MSM/TTN dibanding nilai gabungan 45 perusahaan pariwisata?
3. WOC 2009. Apakah ada hajatan lain misalnya World Tailing Conference (WTC) yang bisa mengangkat nilai jual pariwisata Sulut?
Menyorot Perilaku Menteri ESDM dalam Kasus Hukum PT MSM/TTN Surat Menteri Energi dan Sumber daya Mineral tanggal 7 Maret 2006 Nomor 0998/40/MEM.G/2006, intinya membolehkan PT MSM melakukan operasi penambangan dengan menggunakan Amdal kadaluarsa; Padahal berdasarkan kekuatan Undang-undang, AMDAL KADALUARSA dianggap tidak pernah ada; Selain itu, kewenangan Amdal bukanlah kewenangan Menteri ESDM melainkan kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Bahkan Menteri ESDM secara arogan menerbitkan surat tanggal 14 Februari 2007 Nomor 0723/30/MEM. G/2007 kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup yang intinya secara implisit mempengaruhi Menteri Negara Lingkungan Hidup agar mengabaikan sikap Gubernur Sulawesi Utara.
Hal ini adalah bukti nyata departemen ini adalah trouble maker (pemeran utama) dalam kasus skandal hukum PT MSM, sebagai tindak lanjut izin prinsip PT MSM yang diberikan sebelum PT MSM berbadan hukum (1986), melanggar pasal 12 UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan.
Dalam hal ini, Menteri ESDM telah dan sementara melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Menteri ESDM mengabaikan (melanggar) UU nomor 11 tahun 1967 tentang Pertambangan khususnya pasal 12.
2. Menteri ESDM secara nyata dengan alasan investasi mengabaikan (melanggar dan/atau mendorong Komisi Amdal Pusat untuk melanggar) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Amdal, khususnya pasal 16 ayat (4) PP 27/1999.
3. Menteri ESDM mengabaikan resistensi yang sangat massif dari rakyat Sulawesi Utara terhadap rencana ditaruhnya 10 juta metrik ton limbah yang potensial sebagai limbah B3 (bahan beracun berbahaya) di atas pegunungan Tokatidung yang mengancam kualitas hidup dan kulitas kesehatan masyarakat puluhan desa di wilayah dataran rendah dan pesisir.
4. Menteri ESDM”mengobok-obok” hal-hal yang status hukumnya telah sangat jelas hanya untuk hal-hal sumir dan ”berbau” KKN untuk kepentingan PT MSM/TTN. Menteri ESDM harusnya dituduh menyalahgunakan jabatan (abuse of power) yaitu dengan sengaja menciptakan keresahan di masyarakat yang tak berujung pangkal, hanya demi membela PT MSM dan PT TTN secara tidak patut dan melawan hukum.
5. Telah cukup banyak kasus di Indonesia yang dilahirkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Departemen Pertambangan) Republik Indonesia sebagai instansi yang memberi izin (trouble maker) antara lainnya kasus Lapindo Brantas, kasus Buyat, kasus Freeport, dan berbagai kasus lainnya.Setelah izin-izin yang diterbitkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral ternyata sangat bermasalah bagi rakyat Indonesia, justru tak tampak adanya tanggungjawab dari Departemen ESDM sebagai (pencipta bencana).
6. Menteri ESDM memelintir esensi masalah dan cenderung membohongi publik dengan mengintimidasi berbagai pejabat negara bahwa jika PT MSM/TTN tidak beroperasi, maka pemerintah RI akan dituntut di Arbitrasse Internasional. Melihat jumlah (kuantitas) dan kualifikasi skandal hukum yang melibatkan PT. MSM dan PT. TTN di Indonesia, membuat PT MSM dan PT TTN tidak memiliki cukup alasan dan dasar untuk membawa persoalan penolakan ini di Arbitrase Internasional. Malah semestinya PT MSM/TTN-lah yang bisa dituntut di Arbitrase Internasional oleh pemerintah RI. Akan tetapi, tampaknya Menteri ESDM justeru lebih cenderung memberikan alat dan/atau senjata bagi PT MSM/TTN untuk menyeret pemerintah RI ke Arbitrase Internasional dengan tujuan ”dikurasnya” uang negara dan beralasan ”gara-gara” Gubernur Sulut menolak investasi.
Akibat-akibat Menentang PT MSM/TTN KE Rakyat Kecil :
1. Dirampasnya tanah-tanah petani dari desa Pinenek Kecamatan Likupang Timur dan Kelurahan Pinasungkulan Kecamatan Bitung Utara dengan meminjam tangan oknum-oknum pejabat tanah dan oknum-oknum polisi. Dalam proses ini terdapat masyarakat petani yang dianiaya dan diproses kemudian dihukum sebagai kriminal padahal mereka mempertahankan hak-hak tanahnya;
2. Dirampasnya mata pencaharian nelayan 3 desa (Rinondoran, Kalinaun dan Batuputih) karena pembangunan dermaga tambang PT MSM di desa Rinondoran kecamatan Likupang Timur;
3. Diseretnya para pemrotes PT MSM ke pengadilan pidana yaitu didakwanya 3 warga masyarakat dan 8 orang nelayan dari desa Rinondoran, desa Kalinaun, dan kelurahan Batuputih karena memprotes pembangunan dermaga illegal PT MSM di Teluk Rinondoran; Ke 11 orang ini didakwa membakar pos PT MSM di dermaga MSM Rinondoran. Padahal menurut bukti 5 rekaman video (pengambilan gambar dari 5 angle), pelaku pengrusakan pos PT MSM bukanlah ke 11 orang tersebut; Diduga kuat perkara ini bisa berlangsung hanya untuk menghentikan penolakan masyarakat (membuat efek jera). Ringkasnya, karena ketika ada pengrusakan pos MSM oleh nelayan, maka tersangkanya haruslah tokoh-tokoh yang menolak pembangunan dermaga ini (juga menolak operasi PT MSM/TTN);
4. Timbulnya ketergantungan ekonomi masyarakat lingkar tambang PT MSM/TTN, seolah-olah tanpa beroperasinya PT MSM/TTN masyarakat akan mati kelaparan. Tiba-tiba muncul ”protes” rakyat yang merasa akan kehilangan mata pencaharian jika PT MSM/TTN tidak beroperasi. Padahal sebelumnya orang-orang ini memang ada pekerjaannya. Hal ini menjadi krusial karena mayoritas masyarakat lingkar tambang PT MSM menolak operasi PT MSM/TTN. Dalam berbagai insiden, persoalan ini telah mulai melebar mengarah pada ”konflik” horisontal yang diduga dikreasikan oleh manajemen PT MSM; Konflik horisontal terdeteksi telah mulai mendistorsi institusi-institusi tradisional, termasuk lembaga keagamaan (gereja) dan pendidikan (sekolah-sekolah) yang melibatkan anak-anak sekolah;
5. Terjadinya bencana alam (banjir lumpur) yang diduga disebabkan oleh operasi illegal PT MSM/TTN di pegunungan Tokatindung yang membuat lebih 400 warga desa Rinondoran menjadi pengungsi.

SUMBER:

http://goir-peong.blogspot.com/